Berita

Tukang Parkir VS Hari Guru Nasional

Sabtu, 14 Desember 2019 / Berita
Tepat pukul 11.00 WIB. Hari itu cuaca cukup panas. Saat terik telah menjelma menjadi udara yang membuat tenggorokan semakin kering. Siang itu adalah perjalanan pulang dari rapat. Bukan berarti saya akan pulang kerumah, namun kembali ke sekolah. Bertepatan pula bahwa hari itu adalah hari guru nasional. Narasi ucapan hari guru telah berseliweran di media sosial. Bahkan, ucapan pak menteri pendidikan pun bertajuk beda. Hari itu saya mampir disebuah toko modern di kota Magelang. Bukan membeli barang yang mahal. Cukup 1 botol minum kemasan 1,5 liter saja. Aku masih mengantri di urutan ketiga karena ada custemer lain yang lebih duluan. Akan tetapi, ada bapak-bapak yang sekiranya berumur 40 tahuan. Pembicaraan itu tiba-tiba memutus konsentrasi sang kasir dalam menghitung barang.
 
"Mas, ijol duwet receh butuh ora?", Tanya lelaki itu pada salah satu kasir toko modern. 
 
 
"Maaf pak, masih banyak yang receh", jawab kasir itu.
 
Sontak, lelaki itu masih berkata dan menegaskan bahwa uangnya ingin ditukarkan.
"Ora okeh mas, mung Rp. 75.000,-", tegasnya kembali.
Setelah itu, saya tak lagi konsen apa yang mereka bicarakan. Hanya ada satu didalam etalase pikir ini. Bahwa bapak-bapak yang mau menukar uang itu adalah tukang parkir. Sembari mengantri, imajinasi ini terus liar dan memaksa membuat pertanyaan. Betapa tidak, seorang tukang parkir yang bekerja tanpa ijazah dan cukup butuh rompi warna Oren dengan peluit mampu mengumpulkan uang 75.000 dalam beberapa jam. Lantas, otak ini tak mau bungkam dan bertanya tentang makna hari guru. 
 
Betapa jauh dari kata layak gaji guru hari ini. Meski sudah ada para PNS dan penuh dengan tunjangan sertifikasi. Namun, diantara ribuan PNS, ada jutaan guru honorer yang masih gigit jari dengan upah cukup buat transportasi. Kalau kita bandingkan dengan upah tukang parkir yang mencapai 75.000 kali dalam satu bulan, masih jauh dari kata layak.  Miris memang, alih-alih mencapai pendidikan paripurna dengan seabrek administrasi, namun ada pihak-pihak yang terdzolimi. Misalkan saja, guru dengan gaji 300.000 masih buat membeli ATK yang menjadi penunjang administrasi. 
 
Cukup ribet memang. Kalau bukan atas dasar pengabdian kadang hanya akan menjadi butiran debu yang tiada arti. Hari guru yang penuh retorika dan sebutan pahlawan tanda jasa seakan hanya bersifat ceremonial yang diharapkan mampu membius sebuah imajinasi mimpi para pengabdi guru honorer. 
 
Tulisan ini memang bukan solusi. Tak mungkin hanya cukup berhenti sampai disini. Pikiran ininseakan dalam jalan buntu atau sebuah persimpangan. Antara kebutuhan tenaga pendidik, kampus pencetak akademisi, atau pemerintah yang kurang peduli.

    Kirim Komentar